KAMPUS 1 UST

Pusat adminnistrasi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Kampus Kebangsaan, Kampus Kebanggaan.

FKIP UST JOGJA

Kampus 3 UST JOGJA - FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Tempatku belajar dan menuntut ilmu, mempersiapkan diri menjadi seorang guru SD yang berkualitas handal.

GRHATAMA PUSTAKA YOGYAKARTA

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY. Sumber ilmu, pengetahuan dan informasi yang tiada batasnya. Kunjungi dan Jadi Tahu Dunia.

MUTIARA HATI DAN JIWAKU

Ibundaku (Ibu Purwati) dan Kakakku (Mas Teguh Prasetyo Utomo, SIP.). Dua sosok yang sangat berperan dalam hidupku. Aku sangat mencintai mereka.

PP AL-LUQMANIYYAH YOGYAKARTA

Di sini saya nyantri, di sini saya ngaji, di sini saya ngabdi. Untuk meraih kemuilaan hidup dunia - ahirat. Aamiin.

Kamis, 22 Desember 2016

Biografi Al-Marhum Al-Maghfurllah Abah KH. Najib Salimi - Pengasuh PP Al-Luqmaniyyah Yogyakarta



Nama, Kelahiran, dan Masa Kecil Beliau

Beliau dikenal dengan nama KH Najib Salimi. Nama beliau sebagaimana tercantum dalam identitas kewarganegaraan beliau adalah Najib Mamba’ul Ulum. Sedangkan nama beliau sebagaimana penuturan ayahanda beliau adalah Najib Zamzamudin. Para santri menyebut beliau dengan panggilan Abah Najib. Sedangkan tamu, sahabat, kolega dan jamaah majlis beliau menyebut beliau dengan Gus Najib.

Beliau dilahirkan pada hari Selasa Pon, tanggal 5 Januari 1971, di Dusun Mlangi Kelurahan Nogotirto Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dusun Mlangi terletak di arah barat laut kraton Yogyakarta. Jarak dari kraton kurang lebih 9,4 km. Dusun ini merupakan sebuah wilayah yang memiliki akar sejarah yang kuat di Yogyakarta. Di sana terdapat bangunan masjid yang disebut sebagai Masjid Pathok Negoro dan makam Mbah Nur Iman, seorang ulama yang masih merupakan keluarga Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Di Mlangi terdapat beberapa pesantren dan memiliki tata kehidupan yang religius. Oleh karenanya, anak-anak kecil yang lahir dan tumbuh di sana hidup dalam suasana keagamaan dan keilmuan yang kuat. Terlebih mereka yang lahir dari keluarga pengasuh pesantren.

Di masa kecil beliau, KH Najib mendapatkan pengajaran langsung dari kedua orang tua beliau. Beliau juga menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah formal. Hanya saja, ijazah sekolah dasar beliau ini tidak diambil. Orang tua beliau memang lebih mementingkan pendidikan di pesantren daripada pendidikan di sekolah formal. Bagi sebagian besar masyarakat, mungkin sikap yang demikian dianggap sebagai sikap yang kolot. Akan tetapi, dapat dibuktikan bahwa meskipun tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi, putra dan putri KH Salimi tumbuh dewasa dengan pengetahuan, wawasan, dan pergaulan yang luas.

Sekilas Tentang Keluarga Beliau

KH Najib Salimi dilahirkan dari keluarga pengasuh pesantren. Ayahanda beliau, KH Salimi, adalah pengasuh Pondok Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) As-Salimiyyah. Hingga tulisan ini dibuat, ayahanda dan ibunda beliau masih mengasuh pesantren tersebut. Ibunda beliau bernama Nyai Bunyanah, seorang penghafal al-Qur’an, putri dari seorang Kyai besar di Mlangi, yaitu K. Masduqi, pengasuh Pondok Pesantren As-Salafiyyah Mlangi.

KH Salimi adalah santri dari KH Chudlori, pendiri dan pengasuh pertama Pesantren Tegalrejo Magelang. Beliau adalah seorang santri yang loyal. Seluruh putra beliau kemudian menimba ilmu dari pesantren yang sama. Bisa dikatakan bahwa keluarga KH Salimi adalah keluarga santri Tegalrejo Magelang.

Garis silsilah keluarga KH Najib dari ayah dan ibu beliau bersambung kepada Mbah Nur Iman. Beliau adalah kakak sulung dari Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I (1717-1792). Nama beliau adalah BPH (Bendara Pangeran Haryo) Sandiyo. Mbah Nur Iman adalah sosok ulama yang menurunkan banyak tokoh pejuang dan ulama di wilayah Jawa.

KH Najib adalah anak kedua dari tujuh orang bersaudara. Tiga saudara laki-laki beliau adalah K. Ahmad Nasihin, K. Na’imul Wa’in, dan K. Nurcharist Madjid. K. Na’im tinggal dan mengasuh pesantren di daerah Dayakan Purwomartani Kalasan Sleman. Sedangkan kedua saudara laki-laki beliau yang lain tinggal dan mengajar di pesantren ayahanda mereka. Tiga saudara perempuan beliau yaitu Ning Isna, Ning Ilvin, Ning Asna. Ketiganya mendapatkan suami dari keluarga pesantren juga. Ning Isna diperistri K. Mabarun, pengasuh Pesantren Al-Miftah Mlangi. Ning Ilvin diperistri K. Misbah, dari Pesantren Al-Falahiyyah Mlangi. Sedangkan Ning Asna diperistri K. Baidlowi, putra KH. R. Mastur, pengasuh pesantren di Tempuran Magelang. K. Baidlowi bersama Ning Asna kemudian tinggal dan mengasuh Pesantren Ar-Rohmah di Kleben Pendowoharjo Sleman. Dapat dikatakan bahwa KH Najib beserta saudara-saudara, dan ipar-iparnya adalah para penggerak pendidikan di pesantren. KH Najib sendiri memperistri Nyai Hj. Siti Chamnah, putri KH Khudlori Abdul Aziz, pengasuh Pesantren Al-Anwar di Ngrukem Sewon Bantul.

KH Najib sangat menyayangi para adiknya, dan sangat peduli dengan cita-cita dan harapan mereka. Diantara para saudaranya, beliau adalah salah seorang anak yang paling mampu meluluhkan hati sang ayahanda.

Masa Belajar

Setelah menamatkan SD pada tahun 1985, beliau dikirim belajar ke pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh KH Abdurrahman Chudlori. Beliau adalah seorang panutan bagi KH Najib, terutama dalam semangat menyebarkan ilmu dan pengabdian.

Di pesantren inilah beliau benar-benar melakukan prihatin bahkan hingga badan kurus dan kusut. Pada suatu kondisi sakit, beliau pernah berdoa meminta kesembuhan jika saja hidup beliau memang lebih bermanfaat, dan sebaliknya jika memang hidup beliau memang tiada guna maka lebih baik sudahi saja.

Beliau belajar di Magelang hingga tahun 1992. Beliau harus pulang karena harus membantu orang tua beliau yang menghadapi ujian besar, yaitu berpindahnya  pesantren dari Dusun Mlangi ke Dusun Cambahan di tahun 1990.

Meskipun terhitung sebentar untuk ukuran menimba ilmu di pesantren Tegalrejo, namun beliau memiliki kedekatan yang cukup erat dengan Pak Dur, atau KH Abdurrahman Chudlori. Pak Dur adalah pembicara yang wajib diundang dalam setiap pengajian akhir tahun di pesantren KH Najib. Bahkan setelah Pak Dur wafat, putra beliau yaitu KH Izzuddin Abdurrahman ditetapkan sebagai pembicara yang wajib diundang.

Masa Pengabdian

Setelah tidak lagi belajar di Magelang, KH Najib menghadapi babak baru dalam kehidupan beliau. Beliau dituntut untuk mengabdi kepada orang tua beliau. Beliau membantu keberlangsungan kegiatan di pesantren ayahanda beliau sekaligus berinteraksi dengan berbagai orang yang datang ke Cambahan dengan berbagai keperluan.

Pada masa ini, beliau gemar berinteraksi dengan orang lain, dan mengajak mereka untuk lebih dekat dengan dunia pesantren. Beliau berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan mulai dari yang buruh, mahasiswa, pejabat, hingga akademisi. Pergaulan beliau inilah yang menjadikan beliau memiliki wawasan yang luas dan mengenal berbagai karakter orang.

Beliau gemar berdagang. Beliau termasuk seseorang yang memiliki keyakin kuat bahwa segala apapun usaha pasti akan menuai hasil meski bukanlah yang diasumsikan ataupun diharapkan di awal.

Beliau sering mengikuti dan mengadakan kegiatan forum diskusi dengan para aktivis mahasiswa ataupun gerakan sosial. Seringkali beliau mengadakan forum diskusi kemudian diikuti dengan kegiatan ziarah ke makam para ulama.

Di penghujung abad 20, beliau mempersunting Nyai Hj. Chamnah, sebuah babak baru kehidupan beliau. Tidak lama setelah pernikahan beliau, ayahanda beliau, KH Salimi, diserahi untuk mengelola sebuah komplek bangunan di tengah kota Yogyakarta untuk  dijadikan sebuah pesantren. Akhirnya, pesantren inilah yang kemudian dikelola oleh KH Najib Salimi.

PP Al-Luqmaniyyah didirikan oleh seorang pengusaha keturunan Batak bernama H. Luqman Jamal Hasibuan. Pesantren ini diresmikan pada tanggal 9 Februari 2000 dengan pengasuhnya adalah KH Najib Salimi yang pada saat itu baru menginjak usia 29 tahun.

Pesantren ini berada di tengah kota Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Umbulharjo. Awalnya, pesantren ini diperuntukkan untuk mereka yang hanya hendak menuntut ilmu agama saja. Akan tetapi, setelah beberapa bulan berjalan, justru yang tertarik masuk adalah mereka yang kuliah di kampus-kampus di Yogyakarta.

Pesantren ini cepat mengalami perkembangan sebanding dengan pengaruh KH Najib Salimi di kehidupan keberagamaan di Kota Yogyakarta yang juga semakin meluas. Jamaah luar pesantren dari masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya mulai mengambil manfaat dengan mengikuti kegiatan mujahadah pada setiap malam selasa.

Orang-orang mulai banyak yang berdatangan ke pesantren sekedar ingin sowan KH Najib dan berbagi cerita kehidupan mereka masing-masing. KH Najib menerima tamu pada tiap malamnya hingga dini hari. KH Najib berprinsip bahwa tamu yang datang adalah sumber keberkahan meski datang dengan permasalahan.  Tamu yang datang sangat beragam dan semua diperlakukan oleh KH Najib selayaknya orang dekat.

Pada tahun 2006 KH Najib mendapatkan amanah sebagai Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama Cabang Kota Yogyakarta. Dengan amanah ini kemudian peran beliau dan pesantren beliau semakin dirasakan masyarakat Kota Yogyakarta khususnya nahdliyyin. Para pejabat pemerintah pun berdatangan mulai dari yang sekedar silaturahmi dan perkenalan hingga yang akhirnya ikut dalam kegiatan pengajian beliau.

Sebenarnya, tidak sedikit tamu yang datang ke tempat beliau dan minta bantuan beliau kemudian pada akhirnya menyusahkan beliau. Akan tetapi, beliau sama sekali tidak pandang bulu dalam membantu dan mendidik orang. Beliau berkeyakinan bahwa setiap orang berhak mendapatkan tarbiyah, meskipun ia datang dengan itikad yang tak baik. Seringkali beliau mendapat kecaman dan fitnah dari orang lain. Namun semua itu adalah kepahitan yang kelak akan diganti dengan kebaikan.

Bagi para santri, beliau adalah sosok orang tua yang penyayang dan tahu akan apa yang dibutuhkan oleh anak didiknya. Para santri menyebut beliau dengan sebutan Abah Najib.

Pemikiran Beliau Tentang Moral dan Pendidikan Islam

KH Najib Salimi mengasuh Pesantren Al-Luqmaniyyah dari mulai berdiri hingga akhir hayat beliau. Banyak hal yang dapat dicatat dari perjalanan hidup dan pemikiran-pemikiran beliau tentang moral, pendidikan dan pesantren. Berikut beberapa di antaranya:

Selain sebagai tempat belajar ilmu-ilmu keagamaan, pesantren adalah tempat belajar menumbuhkan nilai-nilai yang berguna di kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai seperti gotong royong, tepo seliro, sopan santun, pengorbanan, kesederhanaan, dan tanggung jawab mutlak harus dijalani oleh seorang santri.

Tanggung jawab adalah sebuah kesempatan, bukan sebuah beban. Seorang santri yang diberi tanggung jawab sebagai pengurus pesantren harusnya bersyukur karena diberikan wahana untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri. KH Najib tidak mengarahkan secara detail kepada santri beliau tentang bagaimana mengelola organisasi pesantren. Beliau senantiasa memberikan keluasan kepada pengurus pesantren untuk membuat sebuah kebijakan dan alternatif-alternatifnya meskipun dalam beberapa hal pada akhirnya apa yang diputuskan haruslah atas keputusan beliau. Dari situlah seorang santri belajar sebagai pemimpin, mengambil sebuah kebijakan dan kemandirian.

Untuk menumbuhkan jiwa pengabdian dan pengorbanan yang tinggi, seorang santri harus dilatih untuk mengesampingkan apa yang menjadi kebutuhan pribadinya dan mendahulukan apa yang menjadi kebutuhan bersama atau orang lain. Tentang ini, beliau terkadang memanggil santri yang tampak sibuk atau terburu-buru dengan urusannya dan memberi sebuah perintah kepadanya walau ringan semisal menyapu halaman, merapikan tanaman, ataupun lainnya. Dengan kondisi yang sibuk atau terburu-buru tadi memungkinkan si santri merasa sangat terganggu dan tak rela. Akan tetapi, yang demikian jika terus dilatih akan menumbuhkan rasa ikhlas dalam pengabdian dan pengorbanan.

Termasuk dalam proses memperoleh ilmu, seorang santri harus menghilangkan ke-aku-annya dan tunduk dengan apa yang menjadi petunjuk guru. KH Najib mendidik seseorang yang selalu bangga dengan dirinya dengan jalan memberinya perintah untuk melakukan hal-hal yang remeh menurutnya.

Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, seorang santri harus menyiapkan wadah yang bersih. Pikiran dan hati tidaklah boleh habis untuk sesuatu yang tiada guna. Dalam hal ini, proses riyadloh dan mujahadah adalah suatu keniscayaan. Keduanya adalah latihan badan sekaligus olah batin untuk dapat menerima cahaya ilmu. Hingga saat ini, Pesantren Al-Luqmaniyyah menjadi pesantren dengan ciri tirakat santri dan mujahadah-nya. Banyak santri yang melanggengkan puasa sunnah. Diantara mereka juga banyak yang ngerowot, yaitu tidak mengonsumsi beras dan variannya. Mereka menjadikan olahan singkong sebagai bahan makanan pokok setiap harinya. Mujahadah di Pesantren Al-Luqmaniyyah dilakukan di setiap habis maghrib dan sebelum subuh. Selain itu, juga terdapat aktivitas mujahadah yang dilaksanakan bersama dengan jamaah dari luar pesantren.

Meskipun mujahadah dan tirakat adalah hal penting, akan tetapi kegiatan proses belajar mengajar adalah suatu keniscayaan.

Dalam setiap kondisi yang kita hadapi akan selalu ada kemungkinan cocok dan tidak cocok. Sesuatu yang tidak cocok bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi. Jika kita selalu berpindah ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai, bisa jadi akan berpindah ke sesuatu yang juga tidak cocok dengan kita. Jika terus demikian, maka kita tak belajar apapun dari kondisi yang ada. Berpindah-pindah pesantren bisa jadi karena kita tak mampu menghadapi sesuatu yang tidak cocok dengan kita.

Untuk mencapai kemuliaan maka harus melalui proses yang tidak instan. Seringkali kita memandang kesuksesan seseorang sebagai sebuah keberuntungan, tetapi kita lupa bahwa pencapaian tersebut selalu dibarengi dengan proses pahit perjuangan.

Jika ada seseorang yang menggantungkan harapannya dengan meminta pertolongan kepada kita, maka meski kita tidaklah mampu, kita harus berusaha dengan apapun yang bisa diusahakan. Sikap semacam ini adalah bentuk kasih sayang kita kepada sesama dan usaha untuk mencegah terjadinya keputus-asaan terhadap pertolongan Allah SWT.

Kesuksesan belajar seorang santri dan kemanfaatan ilmu yang diperoleh berbanding lurus dengan dukungan dan doa dari para guru dan orang tua santri. Oleh karenanya, KH Najib selalu menekankan kepada orang tua santri untuk senantiasa ikut prihatin atau menjaga diri dan berusaha memperbaiki diri.

Hadapilah orang lain dengan memanusiakannya. Kita tidak diperkenankan untuk berbuat semau diri sendiri tanpa memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Dengan sikap beliau yang demikian ini, hampir setiap orang yang kenal beliau mengklaim bahwa dirinya adalah seorang yang paling dekat dengan beliau.

Apapun yang menjadi mata pencaharian seorang santri ketika tamat dari pesantren, maka jangan pernah meninggalkan untuk mengajar, meskipun sekedar mengajar baca tulis al-Qur’an.

Wafat Beliau

Beliau wafat pada Jumat dini hari tanggal 30 September 2011 di RS PKU Muhammadiyah Kauman Yogyakarta. Lima hari sebelumnya beliau mengalami kecelakaan di Jalan Lingkar Kudus Jawa Tengah. Pada saat itu, beliau sedang dalam perjalanan pulang setelah ziarah ke makam Sunan Muria di Kudus.

Beliau meninggal di usia 40 tahun, usia yang terbilang cukup muda. Tepat seminggu sebelum meninggal, beliau diundang dan hadir dalam lokakarya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengangkat tema terkait tentang hilangnya spiritualitas di institusi formal pendidikan Islam. Beliau diundang karena kapasitas beliau sebagai tokoh pesantren.

Beliau meninggalkan satu istri, Nyai Hj. Siti Chamnah, dan tiga orang anak. Dua putranya bernama Muhammad Abdullah Falah dan Muhammad Alwy Masduq, dan putri bungsu bernama Abdah Iqtada. Sepeninggal beliau, pesantren diasuh oleh istri beliau dan yang terjadi justru jumlah santri menjadi dua kali lipat.

Jenazah beliau dikebumikan pada siang hari dari wafat beliau. Letak makam beliau di sebelah timur makam Mbah Nur Iman di Mlangi. Ribuan orang datang untuk melayat, mensalati, dan mengantarkan jenazah beliau. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa baru pada saat pemakaman KH Najib lah hampir seluruh warga Mlangi keluar untuk mengikuti prosesi pemakaman seseorang. Yang demikian ini tidak lain karena kedekatan almarhum dengan setiap orang yang beliau kenal.

Penulis: Irfan Antono, S.Hum

Santri PP Al-Luqmaniyyah tahun 2002 hingga sekarang

Sumber tulisan: http://al-luqmaniyyah.id/artikel/biografi-kh-najib-salimi-tokoh-pendidikan-dari-yogyakarta.html/

Pengumuman KMD (Kursus Mahir Dasar) Pembina Pramuka PGSD UST 2016






Teman-teman sekalian mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta yang tercinta.. Sudah pada tahu tentang KMD apa belum? Itu lhooo... Kursus Mahir Dasar bagi kita calon pembina Pramuka. Naaaah ayo kita persiapkan diri. Persiapkan segala sesuatunya agar nanti dalam pelaksanaan KMD tersebut, kita bisa menjalaninya dengan mudah dan lancar, serta mendapatkan hasil yang terbaik. Aamiin...

Sudah lihat pengumumannya apa belum? Bagi yang belum lihat, silahkan lihat pengumumannya di sbawah ini.



Semoga bermanfaat... ^_^

Sejarah Perguruan Taman Siswa Yogyakarta - The History of Taman Siswa Yogyakarta


Taman Siswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta (Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid).Pada waktu pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa", yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan teman di paguyuban Sloso Kliwon. Sekolah Taman Siswa ini sekarang berpusat di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Tamansiswa is the name of the school that was founded by Ki Hajar Dewantara on July 3, 1922 in Yogyakarta (“taman” means playgrounds or places of learning, and “siswa” means students) .On time when it was first established, the school was named "National Onderwijs Institut Taman Siswa", which is a realization of his idea together with his friends’ in the community named “Sloso Kliwonan”. Tamansiswa is now centered in the hall named Mrs. Pawiyatan (Majelis Luhur) in Tamansiswa Street, Yogyakarta, and 129 branches in various cities across Indonesia

Pada permulaan abad ke-20 perhatian rakyat Indonesia terhadap pendidikan sangat besar, hingga Departemen Pengajaran tidak dapat mengatasinya. Hal ini disebabkan banyaknya orang yang ingin sekolah tetapi tempatnya tidak mencukupi. Sementara sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, sistem pengajarannya tidak memuaskan rakyat. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan Barat yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda terlalu intelektualistik dan materialistik, sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan bangsa. Diberinya kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memasuki sekolah bumiputra yang kelak menjadi HIS, juga tidak memberi harapan yang diinginkan. Lulusan HIS dinilai tidak bermutu sebab yang diterapkan adalah sistem Eropa. Hasil pendidikan dengan sistem tersebut melahirkan anak-anak yang bertabiat kasar, kurang memiliki rasa kemanusiaan sehingga tumbuh rasa individualisme.

At the beginning of the 20th century, attention to the education field in Indonesia was very large until the Department of Teaching could not handle it due to many people who wanted to go to school but there was no sufficient place. Furthermore, the schools were established by the Dutch government, therefore the system was not satisfying. According to Ki Hajar Dewantara, western education imposed by the Dutch government was too intellectualistic and materialistic, so it could not answer the needs of the nation. The opportunity given by the Dutch government for Indonesians to enter the school of “Bumi Putera” also did not solve problems since the schools applied European system resulting bad attitudes, lacking a sense of humanity, growing sense of individualism which did not match with the country system.

Melihat hasil pendidikan tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, maka dipikirkan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan budaya bangsa Indonesia dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1922 berdirilah Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar, dan Siswa berarti murid. Ketika pertama kali didirikan, sekolah Taman Siswa ini diberi nama "National Onderwijs Institut Taman Siswa".

Since the result of the education system was not suitable with the characteristic of Indonesia, the thought of creating a national education system based on the culture of Indonesia was arise. Finally, on July 3, 1922 Tamansiswa were established by Ki Hajar Dewantara.

Setelah berdiri, maka tokoh Taman Siswa, yaitu Ki Hajar Dewantara, R.M. Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo, mengadakan pertemuan untuk menentukan sikap selanjutnya. Pendirian Taman Siswa menimbulkan berbagai kritik, baik dari kalangan bangsa Indonesia maupun dari pemerintah kolonial. Olehnya itu demi perkembangan, maka pada tanggal 20-22 Oktober 1923 diadakan kongres dengan hasil sebagai berikut:
  1. Mengumumkan bahwa Taman Siswa merupakan “Badan Wakaf” (Institut Pendidikan yang berdiri sendiri, bebas dari pemerintah).
  2. Menyatakan prinsip-prinsip Taman Siswa.
  3. Menyusun kembali institutraat menjadi hoofdraat (Majelis Tinggi), yang kemudian diubah lagi menjadi Majelis Luhur.
After being established, the figures of Tamansiswa named Ki Hajar Dewantara, RM Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro, and Ki Pronowidigdo held a meeting to determine the next steps. Establishment of Tamansiswa raised many critics, both from the people of Indonesia as well as from the colonial government. For the sake of development, on 20-22 October 1923, a congress was held with the following results:
  1. Announced that the Tamansiswa "Waqf Board" (Independent institute of Education, unrelated to the government).
  2. Stated the principles of Tamansiswa.
  3. Reconstituted “Institutraat be hoofdraat” which was then transformed again into “Majelis Luhur”.
Setelah kongres tersebut, Taman Siswa berkembang dengan pesat tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera dan Kalimantan. Kongres Nasional pertama atau rapat besar umum Taman Siswa yang pertama diadakan pada tanggal 6-13 Agustus 1930 di Perguruan Pusat Taman Siswa di Jogyakarta. Hasil kongres tersebut sebagai berikut:
  1. Menerima baik alasan-alasan berdirinya Taman Siswa
  2. Mengemukakan prinsip-prinsip pedoman pendidikan Taman Siswa. Dan yang menjadi sendi-sendi pendidikan Taman Siswa ini adalah:
  3. Taman Siswa bertujuan perkembangan nasional berlandaskan ketujuh pokok yang diterima baik dalam kongres tahun 1923.
  4. Nasional Onderwijs Institut diganti menjadi perguruan Nasional Taman Siswa yang berpusat di Jogyakarta.
  5. Taman Siswa merupakan suatu yayasan yang berdiri sendiri
  6. Taman Siswa membentuk suatu konsolidasi, dimana tiap cabang diintegrasikan kedalamnya di bawah bimbingan perguruan pusat.
  7. Taman Siswa merupakan suatu keluarga, dimana Ki Hajar Dewantara adalah bapak dan Taman Siswa di Jogyakarta adalah ibu.
  8. Tiap-tiap cabang Taman Siswa mesti membantu cabang lainnya atau berprisip saling bahu membahu.
  9. Taman Siswa mesti diurus sesuai demokrasi, akan tetapi demokrasi haruslah tidak mengganggu ketertiban dan perdamaian Taman Siswa sebagai keseluruhan.

Memilih anggota-anggota hoofdraat, terpilih anggota-anggota majelis luhur yaitu:

Badan Pusat
  • Ketua I: Ki Hajar Dewantara
  • Ketua II: Pronowidagdo
  • Ketua III: Cokrodirdjo
  • Anggota-anggota: Sadikin, Puger, Kadirun, Safiudin, dan Sarmidi Mangunsarkoro
Sekretariat
  • Ketua : Ki Hajar Dewantara
  • Komisaris-komisaris: Sudarminta, Sukemi dan Sayoga
Dewan Penasehat
  • Seksi Pendidikan : Hardjosusastro
  • Seksi Administrasi : Sudjito
  • Seksi Hukum : Sujudi
Dewan Daerah
  • Jawa Barat : Sarmidi Mangunsarkoro
  • Jawa Tengah : Sukemi
  • Jawa Timur : Jojoprajitno, dan Safiudin Surjoputro.
Tamansiswa grew rapidly not only in Java, but also in Sumatra and Kalimantan. The first National Congress of Tamansiswa was held on August 6 to 13, 1930, in Tamansiswa Center in Yogyakarta. The results of the congress were follows:
  1. Received good reasons behind the establishment of Tamansiswa.
  2. Suggested guiding principles of education Tamansiswa. The basic principles of Tamansiswa were:
  3. Tamansiswa aimed to excel the national development based on seven subjects which later agreed by the congress in 1923.
  4. “National Onderwijs Institute” was changed to “Perguruan Nasional Tamsnsiswa” based in Yogyakarta.
  5. Tamansiswa is an independent foundation.
  6. Tamansiswa formed branches. Each branch was integrated under the guidance of the central universities.
  7. Tamansiswa was a family. Ki Hajar Dewantara as the father and Tamansiswa in Yogyakarta was the mother.
  8. Each branch of Tamansiswa must assist other branches and must help each other.
  9. Tamansiswa uphold democracy without sacrificing peace of the whole Tamansiswa.

Choosing “hoofdraat” members, the elected members were as follows:

Central Bureau

  • Head I: Ki Hajar Dewantara
  • Chairman II: Pronowidagdo
  • Chairman III: Cokrodirdjo
  • Members of: Sadikin, Puger, Kadirun, Safiudin, and Sarmidi Mangunsarkoro
Secretariat
  • Chair: Ki Hajar Dewantara
  • Commissioners: Sudarminta, Sukemi and Sayoga
Board of Advisors
  • Education Section: Hardjosusastro
  • Administration Section: Sudjito
  • Section of Law: Sujudi
Regional Council
  • West Java: Sarmidi Mangunsarkoro
  • Central Java: Sukemi
  • East Java: Jojoprajitno, and Safiudin Surjoputro.
Dari gambaran mengenai keadaan beberapa cabang Taman Siswa, nyatalah bahwa sekolah sebagai alat ideologi yang begitu populer di masa itu segi politiknya dihindari oleh Taman Siswa dan program kegiatannya lebih menekankan nasionalisme kebudayaan. Pada permulaan masa pendudukan Jepang, perguruan Taman Siswa mengalami perkembangan yang amat pesat, namum pada akhirnya tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu dengan mengelabui pemerintah Jepang, nama Taman Siswa diganti dengan nama lain. Mata pelajaran yang diberikan sama bobotnya dengan pendidikan umum.

From the description above, it is obvious that the school as an ideological tool that is so popular at that time in terms of political was avoided by Tamansiswa. All the activities and programs were emphasizing cultural nationalism. At the beginning of the Japanese occupation, Tamansiswa developed very rapidly, yet eventually defenseless. By tricking the Japanese government, Tamansiswa was changed into another name. The subjects were given in the same weight as a general education.

Setelah kemerdekaan, Taman Siswa lebih meningkatkan peranannya di Indonesia. Kongres Taman Siswa di tahun 1946 merumuskan kembali pernyataan asas tahun 1922. Dikemukakan Panca Dharma sebagai dasar Taman Siswa, yang berisi kemerdekaan, kodrat alam, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Perguruan Taman Siswa memiliki peranan yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan nasional di Indonesia, yakni menanamkan semangat kebangsaan serta sikap anti penjajahan. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menyesuaikan asas-asas yang dicetuskan dalam zaman penjajahan itu dengan kondisi sekarang.

After independence, Student Park further enhance its role in Indonesia. Tamansiswa Congress in 1946 redefined the principle statement 1922 presented as a basis Panca Dharma Tamansiswa, which contains independence, the nature of nature, nationality, culture, and humanity. Tamansiswa have a significant role to the development of national education in Indonesia, which instill the spirit of nationalism and anti-colonial stance. The problem now is how to adapt the principles set out in the colonial era to the present conditions.

Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Patrap Triloka memiliki unsur-unsur (dalam bahasa Jawa) yaitu:
  1. Ing ngarsa sung tuladha  (yang di depan memberi teladan/contoh)
  2. Ing madya mangun karsa  (di tengah membangun prakarsa/semangat)
  3. Tut wuri handayani  (dari belakang mendukung).
The basic principle in the school / education of Tamansiswa that guide teachers known as “Patrap Triloka”. This concept was developed by Suwardi after he studied the progressive education system introduced by Maria Montessori (Italy) and Rabindranath Tagore (India / Bengal). Patrap Triloka has elements (in Javanese), namely:
  1. Ing ngarsa sung tuladha (which is in front of an example / sample)
  2. Ing intermediate Mangun intention (in the middle of building initiatives / spirit)
  3. Tut wuri handayani (from the back, support).
Ketiga prinsip ini digabung menjadi satu ungkapan utuh:  "Ing Ngarsa Sung Tuladha,  Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" yang hingga saat ini masih tetap menjadi panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

These three principles are combined into one whole phrase: "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" which until this day, remains a manual and guidelines for education in Indonesia.


Sumber : http://www.ustjogja.ac.id/Profil-sejarah-singkat-tamansiswa-tamansiswa-history.html

Biografi Ki Hadjar Dewantara, Sang Bapak Pendidikan Nasional RI


Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Mengenai profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan.

Mulai Bersekolah dan Menjadi Wartawan

Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda, yang kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.

Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker :

"..Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya...Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.."

Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.

Masuk Organisasi Budi Utomo

Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal.

Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. Ia berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia. Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta. Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, Ki Hadjar Dewantara kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan.

Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa

Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.

Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.

Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu :

  • Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
  • Ing madyo mangun karso (di tengah memberi semangat).
  • Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Penghargaan Pemerintah Kepada Ki Hadjar Dewantara

Selepas kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri pengajaran Indonesia yang kini dikenal dengan nama Menteri Pendidikan. Berkat jaa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Doktor Kehormatan dari Universitas Gadjah Mada.

Selain itu ia juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.

Sumber : http://www.biografiku.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html

Patung Jungkat-Jungkit dan Sebuah Paradoks Keilmuan


Oleh : Teguh Prasetyo Utomo, A.Md. *

Menggelitik sekali. Ya, itulah kesan pertama yang saya dapatkan ketika melihat gambar di atas dari sebuah tautan yang dibagikan oleh taman di FB. Ini adalah sebuah patung yang dibangun di Jepang. Yang jika sekilas kita lihat, pasti kita akan tertawa tidak percaya dan menganggap si pembuat patung ini mengada-ada. "Mosok iyo, cah cilik iso njengklitno wong gedene sak mono?" Masak iya sih, anak kecil bisa mengangangkat seorang pria dengan bobot yang (kira-kira) 4 atau 5 kali lebih berat dari bobot tubuhnya? Pasti si pembuat patung ini mengada-ada saja.

Hmmmm tapi coba kita lihat, sedikit saja kita perhatikan lebih jeli dan lebih terbuka. Maka akan kita temukan sebuah makna yang teramat dalam dari patung ini. Ada sebuah paradoks yang luar biasa, bukan tentang si kecil yang berhasil mengangkat si besar. Akan tetapi lihatlah apa yang terkandung di sebaliknya. Si kecil digambarkan duduk berdampingan (kalau tidak bisa dikatakan membawa) beberapa buah buku yang tebal-tebal yang kita bersama sepakat, ini adalah buku-buku berkualitas dan 'berat' isinya. Sedangkan si besar duduk hanya dengan membawa sebuah buku kecil (yang bisa jadi itu komik, buku cerpen, dsb - tanpa mengecilkan arti buku-buku tersebut).

Dan ternyata, si kecil mampu mengangkat si besar yang bobot tubuhnya berkali lipat darinya. Ini bukan arti sebenarnya dari patung ini. Arti sebenarnya dari patung ini adalah bahwa "Bobotmu ditentukan oleh seberapa banyak buku yang kau baca."

Dan jika kita ingat, Mark Twain, seorang novelis kenamaan asal Amerika Serikat mengatakan “The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them.” Artinya apa? Bahwa dengan membaca buku yang bermutu, buku yang berkualitas, maka seseorang akan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan orang yang tidak membaca. Sehingga jelas pula bahwa dengan membaca, seseorang akan lebih terbuka cakrawala pemikirannya. Melalui bacaan, seseorang berkesempatan untuk melakukan refleksi dan meditasi, sehingga budaya baca lebih terarah kepada budaya intelektual deripada sekedar budaya hiburan yang dangkal.

Inilah makna dari patung itu. Bahwa kualitas seseorang bukan ditentukan dari bobot dan besar tubuhnya, kalau lebih jauh bisa juga dimaknai bukan dari usianya, bukan dari hartanya, bukan dari penampilannya, tapi dari keilmuannya. Dan ilmu ini akan kita dapatkan dari buku-buku yang kita baca. Maka inilah urgensinya kita membaca.

Bahkan dalam ajaran agama (Islam) pun Tuhan langsung memberikan perintah kepada manusia tentang membaca ini. Lihatlah pada Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 1-5 yang di sana sangat jelas dan terang tentang bagaimana Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca. Iqra’ (bacalah) denqan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Iqra’ (bacalah), dan Tuhanmu lah yang Paling Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa sang tidak diketahuinya.

Tentu saja, dari sini sudah bisa kita lihat bagaimana dan betapa pentingnya membaca bagi manusia. Hingga Tuhan-pun “turun tangan” secara langsung demi hal ini. Dan jika kita mau dan mampu merunut lebih jauh, membaca bukan semata untuk kepentingan pendidikan dan keilmuan semata, akan ketika kita melihat dan memahami perintah Tuhan dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 1-5 tersebut, membaca merupakan kewajiban yang dinilai sebagai ibadah, yang tentu saja ketika kita mengerjakannya, selain kita akan mendapatkan manfaat berupa kekayaan wawasan, informasi dan pengetahuan, kita juga akan mendapatkan pahala yang besar di sisi-Nya.

Naaaah tunggu apa lagi...? Yuk membaca.. ^_^

________________________________________________________________________________

* Teguh Prasetyo Utomo, A.Md.
  • Kepala Perpustakaan SMPIT Abu Bakar Yogyakarta, Sekretaris PD ATPUSI DIY, Pengurus FPSI DIY, Forkompasita DIY, GPMB Kota Yogyakarta, Komunitas SLiMS Jogja. 
  • Aktif menulis, blogging, serta mengisi berbagai seminar/pelatihan/workshop kepustakawanan, otomasi perpustakaan dan blogging.
  • Email : teguh.istimewa@gmail.com

Sumber tulisan : http://pustakawanjogja.blogspot.co.id/2016/02/patung-jungkat-jungkit-dan-sebuah.html